gambar

gambar

Selasa, 04 Oktober 2011

UTTARA KANDA

Oleh           : Bagus Bayu Kresnapati
No/ kelas   : 07 (tujuh)/ X2

P
ada suatu hari Sita melapor kepada Rama, bahwa ia sudah hamil. Rama sangat senang mendengar berita tersebut, lalu Rama pun berkata, “Kanda sangat bahagia mendengar kabar tersebut. Sekarang katakan kepada kanda apa yang adinda inginkan.”
            Dengan tersenyum Sita menjawab, “Aku hanya ingin pergi ke tepian sungai Gangga dan menghaturkan persembahan kepada para pertapa disana, serta tinggal disana untuk beberapa malam, merasakan cara hidup sebagai pertapa, dengan hanya makan umbi-umbian dan buah-buahan saja.”
            Rama lalu menjawab lagi, “Terjadilah seperti yang dinda inginkan. Karena hari ini kanda masih akan menghadiri sidang, maka besoklah kanda akan mengantarkan dinda kesana.”
            Dalam sidang hari itu Rama menanyakan kepada para peserta sidang apa yang menjadi pembicaraan orang kota dan orang desa pada saat ini. Terhadap pertanyaan tersebut, para peserta sidang melaporkan yang baik-baik saja.
            Rama merasa, ada yang disembunyikan oleh para pelapor. Oleh karena itu, ia berkata, “Bicaralah terus terang apa yang sebenarnya yang menjadi pembicaraan orang-orang saat ini agar aku bisa memperbaiki diri.”
            Mendengar pertanyaan tersebut, para peserta sidang saling toleh menoleh antara yang satu dengan yang lainnya. Akhirnya, seorang menteri bernama Badra menjawab secara jujur, “Di jalan-jalan, di pasar, di tempat umum, orang-orang banyak membicarakan bahwa Rama telah melakukan hal-hal yang hebat. Beliau berhasil membuat jembatan yang tiada taranya, berhasil mengalahkan Rahwana, dan menjadi raja yang bijaksana yang memimpin berdasarkan Dharma. Tetapi Rama juga telah melakukan tindakan yang keliru yang merendahkan derajatnya, karena ia mau menerima Sita yang telah begitu lama berada dalam tahanan Rahwana. Siapa bisa yakin, kalau Sita tidak pernah dinodai oleh Rahwana?  Tuanku, itulah kata-kata orang di kota dan di desa.”
Rama pun terkejut, lalu berpaling kepada yang lain. “Katakan terus terang, apakah kalian juga mendengar seperti itu?” mereka semua bersujud, membenarkan laporan tersebut. Laporan tersebut menjadikan pemikiran yang serius bagi Rama. Tetapi ia tetap tenang dan melanjutkan acara-acara sidang. Setelah semua acara dibahas dan diputuskan maka sidang pun dibubarkan. Tapi Rama minta agar adik-adiknya, Laksamana, Satrugna dan Bharata tetap tinggal.
            Setelah semua peserta sidang keluar, Rama lalu berkata kepada adik-adiknya. “Adik-adikku, demi untuk menghilangkan isu-isu negatif terhadapku maka Sita harus disingkirkan. Kebetulan tadi Sita berkata kepadaku bahwa ia ingin tinggal di tempat pertapa di tepi sungai Gangga. Maka sekarang aku perintahkan kepada Laksamana untuk mengantarkan Sita ke tepi sungai Gangga dekat pertapaan Rshi Walmiki, dan tinggalkan disana.”
            Sesuai dengan perintah Rama, keesokan harinya Laksamana menemui Sita dan mengatakan dirinya diutus oleh Rama untuk mengantarkan dirinya ke pesraman para pertapa. Maka Sita pun berkemas-kemas. Setelah siap maka berangkatlah Sita diantar oleh Laksamana menuju tepi sungai Gangga.
            Setelah sampai di seberang sungai Gangga, Laksamana tidak dapat menahan kesedihannya, sehingga ia menangis tersedu-sedu. Sita pun terheran-heran, lalu menanyakan kenapa ia menangis. Maka Laksamana pun berterus terang tentang pesan Rama yang sebenarnya. Setelah itu, dengan perasaan yang sangat sedih, Laksamana pun meninggalkan Sita seorang diri.
            Sita menjadi sangat sedih, hingga ia menangis tak tertahankan lagi. Ada seorang siswa pesraman Rshi Walmiki melihat keadaan Sita. Ia lalu melapor kepada Rshi Walmiki tentang wanita yang dilihatnya. Dengan kekuatan tapanya Rshi Walmiki langsung bisa mengetahui apa yang terjadi. Diiringi oleh siswanya ia lalu bergegas menemui Sita. Sita lalu dibawa ke pesramannya, yang khusus untuk siswa putri. Kepada para siswa putri tersebut, diperkenalkan siapa Sita itu, dan mengapa ada disini. Selanjutnya para siswa tersebut diperintahkan untuk melayani Sita dengan sebaik-baiknya.
            Beberapa bulan telah berlalu. Sita melahirkan putra kembar. Oleh Rshi Walmiki bayi-bayi tersebut diberi nama Kusa dan Lawa. Setelah kedua bayi itu lahir, Rshi Walmiki mulai menulis sloka yang mengisahkan cerita Ramayana. Setelah Kusa dan Lawa memasuki usia brahmacari, sloka Ramayana telah selesai seluruhnya. Rshi Walmiki langsung mengajarkan sloka Ramayana itu kepada Kusa dan Lawa. Setelah mereka remaja, mereka sudah menguasai sloka tersebut diluar kepala.
            Sementara itu di Ayodhya Rama melaksanakan upacara Asmaweda. Dalam upacara Asmaweda, seekor kuda dilepas. Seberapa jauh kuda itu menjangkau wilayah, seluas itulah wilayah kekuaaan Ayodhya. Rama memerintahkan Laksamana untuk mengawasi kuda itu dan memimpin sebuah pasukan prajurit yang sangat besar menuju hutan Naimisa dimana telah berkumpul banyak sekali raja-raja dari berbagai daerah. Mereka menyatakan kedaulatan kekuasaan Rama diakui. Sebuah istana darurat didirikan di tempat itu, dan upacara persembahan kuda pun berlangsung sebulan penuh.
            Pada waktu upacara sedang berlangsung, Rshi Walmiki menyuruh Kusa dan Lawa mengunjungi upacara tersebut, dan menyanyikan sloka Ramayana dengan hati riang dan mantap. Sesampainya mereka disana Rama mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Kusa dan Lawa, Rama lalu bertanya, “Anak muda, siapakah kalian, dan siapakah yang mengarang lagu yang kalian nyanyikan?”
            Kusa menjawab, “Nama hamba Kusa, dan ini adik hamba bernama Lawa. Yang mengarang lagu ini adalah guru kami, yang bernama Rshi Walmiki.”
            Setelah mendengar jawaban tersebut, Rama merasa yakin bahwa Kusa dan Lawa adalah putra-putra Sita. Ia lalu memanggil salah seorang mentrinya, Rama lalu berkata, “Pergilah secepatnya ke pertapaan Rshi Walmiki. Mohonlah sang Rshi agar hadir disini bersama Sita.”
            Beberapa hari kemudian Rshi Walmiki diiringi oleh Sita datang ke tempat itu. Beliau mendekati Rama. “Kedua anak kembar itu adalah putramu. Dan ini istrimu yang tak ternoda. Perintahkanlah dia untuk membuktikan kesuciannya,” kata Rshi Walmiki. Setelah mendengar kata-kata Rshi Walmiki, Rama lalu mengumumkan kepada hadirin. “Kusa dan Lawa adalah anak saya sendiri. Dan setelah Sita membuktikan kesuciannya di hadapan semuanya, aku akan menerima kembali Sita sebagai istriku.”
            Rama lalu mempersilahkan Sita untuk membuktikan kesuciannya di hadapan semua orang. Sita lalu maju ke tengah-tengah orang banyak lalu memanjatkan doa. “Om Basundari Dewi ya namah. Ya Dewi Bumi, hamba mohon ke hadapan Paduka, kabulkanlah permohonan hamba ini. Apabila hamba tidak pernah ternoda oleh laki-laki lain, maka terimalah hamba.”
            Setelah Dewi Sita mengucapkan doa tersebut sebanyak tiga kali, tiba-tiba bumi di hadapannya terbelah. Dewi Bumi muncul di hadapan Sita lalu memeluk Sita dengan kasih sayang. Berikutnya muncul sebuah tahta yang indah. Dewi Bulan lalu menundukkan Dewi Sita diatas tahta tersebut. Perlahan-lahan tahta dengan Sita diatasnya masuk ke dalam perut bumi, diikuti oleh Dewi Bumi. Setelah itu, perut bumi tertutup kembali. Semua yang menyaksikan peristiwa tersebut takjub terpesona. Rama menjerit histeris, “Wahai Dewi Bumi kembalikan Sita kepadaku. Kalau tidak, bumi ini akan kuhancurkan.”
            Berulang-ulang Rama mengucapkan ancaman tersebut, namun Sita tidak dikembalikan. Ketika Rama akan melaksanakan ancamannya, turunlah Dewa Brahma. Beliau menenangkan Rama, dengan mengatakan bahwa memang sudah saatnya Sita kembali ke Patala. Dan kepada Rama dinasehatkan, untuk meneruskan kewajibannya menegakkan Dharma. Setelah Rama menjadi tenang dan menyadari kewajibannya, Dewa Brahma pun lenyap dari pandangan.
            Setelah upacara Asmaweda selesai, Rama mengajak kedua anaknya ke Ayodhya. Rama tidak pernah kawin lagi. Ia menyuruh seorang pematung ahli untuk membuat patung Sita dari emas murni. Patung itulah yang selalu menyertainya, menempati tempat sebagai seorang istri.
            Bertahun-tahun telah berlalu. Ibunda Rama, Dewi Kosalya meninggal dunia. Kemudian Dewi Sumitra menyusul, dan akhirnya Dewi Kekayi pun menyusul pula. Mereka bertiga naik ke sorga berkumpul dengan Raja Dasarata.
            Waktupun terus berlalu. Pada suatu hari, Rama didatangi oleh Bhagawan Narada, mengingatkan bahwa tugasnya di dunia sudah berakhir, dan supaya segera kembali ke Kahyangan. Maka Rama pun mempersiapkan segala sesuatunya. Kerajaannya dibagi dua. Kosalya Selatan diberikan kepada Kusa, dan Kosalya Utara diberikan kepada Lawa. Upacara penobatan dihadiri pula oleh Wibisana, Sugriwa, Hanoman, dan Hanggada.
            Setelah upacara penobatan selesai, Rama mengumpulkan adik-adiknya, Laksamana, Satrugna dan Bharata beserta Wibisana, Hanoman, Sugriwa, dan Hanggada. Kepada Wibisana Rama berpesan agar meneruskan pemerintahannya dengan tetap memegang teguh pada landasan Dharma. Kepada Hanoman dan Hanggada, Rama berpesan agar tetap tinggal di dunia sampai jaman Kaliyuga. Kepada yang lain Rama mengatakan bahwa ia akan mengundurkan diri ke hutan. Siapa yang mau ikut dipersilahkan.
Laksamana, Satrugna, Bharata, Sugriwa dan sejumlah pegawai istana mengikuti kepergian Rama ke hutan, di tepi sungai Serayu. Disana Rama kembali kepada wujudnya sebagai Wisnu. Dan semua pengikut Rama yang ikut ke hutan dapat mengikuti Wisnu ke alam Wisnuloka. Bagaikan Hyang Asmara perilaku Sang Rama memenuhi kesenangan duniawi berlandaskan ajaran agama. Itulah sebabnya cerita suci tentang perjalanan Sang Rama sungguh-sungguh harum jika sudah meresap dalam hati. Sang maha muni dan orang yang bijaksana makin suci hati beliau setelah usai membaca cerita ini. Jika baik caranya menjelaskan walaupun kepada orang awam dapat menyebabkan dia mencapai alam gaib.
Dan cerita yang mengandung ajaran utama Ramayana ini wajar disebarluaskan dan dengarkanlah inti sarinya yang sangat termasyur.

YUDHA KANDA

Oleh           : Intan Permata Putri
No/ kelas   : 06 (enam)/ X2

Y
uddhakanda adalah kitab keenam epos Ramayana dan sekaligus klimaks epos ini. Secara singkat, dalam kitab ini diceritakan Sang Rama dan sang raja kera Sugriwa mengerahkan bala tentara kera menyiapkan penyerangan Alengkapura. Karena Alengka ini terletak pada sebuah pulau, sulitlah bagaimana mereka harus menyerang. Maka mereka bersiasat dan akhirnya memutuskan membuat jembatan dari daratan ke pulau Alengka.
Para bala tentara kera dikerahkan. Pada saat pembangunan jembatan ini mereka banyak diganggu tetapi akhirnya selesai dan Alengkapura dapat diserang. Syahdan terjadilah perang besar. Para raksasa banyak yang mati dan Rahwana gugur di tangan Sri Rama. Lalu Dewi Sita menunjukkan kesucian dan kesetiaannya terhadap Rama dengan dibakar di api, ternyata ia tidak apa-apa. Setelah itu sang Rama, Sita, Laksamana pulang ke Ayodhyapura, disertai para bala tentara kera yang dipimpin oleh Sugriwa dan Hanuman. Di Ayodhyapura mereka disambut oleh prabu Barata dan beliau menyerahkan kerajaannya kepada sang Rama. Sri Rama lalu memerintah di Ayodhyapura dengan bijaksana.

Berikut ini adalah jalan cerita saat terjadinya pertempuran antara pasukan kera Sri Rama dengan pasukan raksasa Sang Rahwana.

Rahwana mendapat laporan dari mata-matanya bahwa Rama dan pasukannya telah sampai di gunung Mahendra. Ia lalu mengadakan sidang untuk mempersiapkan perang yang pasti akan terjadi. Kumbakarna yang mendengar kata-kata kakaknya yang telah memiliki hasrat untuk memiliki Sita berkata seperti guruh. “Penculikan Sita merupakan tindakan seperti menaruh racun dalam makanan. Untuk keselamatan Negara ini, aku sependapat dengan Wibisana, yaitu kembalikan Sita kepada Rama.” Rahwana tidak berkenan dengan kata-kata Kumbakarna. Menteri-menteri lain ikut member dukungan yang serupa, sehingga Rahwana menjadi puas. Iapun menyuruh agar semua pasukan disiapkan.

Setelah sidang dibubarkan, Rahwanapun keluar siding dengan pikiran tertuju kepada Sita. Ia ingat bahwa dulu Sita pernah berjanji, bahwa Sita mau dikawini apabila Rahwana berhasil membawa kepala Rama dan Laksamana. Sementara itu, Dewi Sita di taman Asoka berada dalam kegelisahan. Ia juga teringat akan janjinya kepada Rahwana. Tiba-tiba ia melihat Rahwana datang menenteng dua kepala menyerupai wajah Rama dan Laksamana. Dewi Sita tidak sanggup berkata apa-apa. Trijata yang melihat kedua kepala tersebutmenjadi curiga, bahwa kepala tersebut adalah kepala putra kembar Rahwana Sundara dan Sundari. Ia lalu menyampaikan keyakinannya kepada Sita. Untuk meyakinkan Sita, Trijata mengecek keadaan Rama dan Laksamana ke gunung Mahendra dengan menaiki penyu raksasa. Kebetulan Hanman sedang berjaga-jaga di sana dan iapun diantar oleh Hanoman menghadap Rama dan Laksamana. Alangkah kaget dan gembiranya Trijata ketika melihat ayahnya dalam keadaan sehat bugar. Setelah ia menyampaikan maksud kedatangannya iapun mohon pamit. Hanoman bersama Trijata langsung menghadap Dewi Sita dan menceritakan keadaan Rama dan Laksamana.

Saat Rama dan tentaranya bersiap-siap menuju Alengka, Wibisana, adik Sang Rahwana, datang menghadap Rama dan mengaku akan berada di pihak Rama. Setelah ia menjanjikan persahabatan yang kekal, Rama menobatkannya sebagai Raja Alengka meskipun Rahwana masih hidup dan belum dikalahkan. Kemudian Rama dan pemimpin wanara lainnya berunding untuk memikirkan cara menyeberang ke Alengka mengingat tidak semua prajuritnya bisa terbang. Lalu diperintahkannya Sugriwa memimpin seluruh pasukannya agar mencari batu untuk menguruk selat Bandalayu tersebut. Akhirnya, dalam waktu lima hari jalan menuju ke Alengka sudah bisa dirampungkan. Jalan tersebut diberi nama Jembatan Bandalayu.

Setelah jembatan rampung, Rama dan pasukannya menyeberang ke Alengka. Kini, Rama beserta pasukannya telah siap berperang. Namun ia tetap memutuskan untuk mengikuti aturan perang secara ketat. Seorang utusan harus dikirim guna mengusahakan perdamaian untuk ayng terakhir. Rama memutuskan untuk mengirim Hanggada menjadi utusan menghadap Rahwana dengan membawa sepucuk surat yang isinya Rama akan datang untuk menghukum Rahwana. Tetapi jika Rahwana mau mengembalikan Sita dan meminta maaf, maka Rama akan bersedia untuk memaafkan.
Setelah mendapat laporan dari Hanggada tentang penolakan Rahwana, maka Sri Rama memerintahkan pasukannya untuk segera berangkat. Sementara itu, Rahwana juga mempersiapkan pasukannya untuk menghadapi serangan Rama. Perang pun terjadi.
Rama menangis sedih melihat kematian dari sebagian besar pasukannya. Terutama atas kematian adiknya tercinta Laksamana, dan prajurit-prajurit andalannya seperti Sugriwa, Hanggada dan lain-lainnya. Wibisana menghibur Rama dengan mengatakan bahwa prajurit yang meninggal akibat senjata herbirawa dapat dihidupkan kembali dengan obat daun ‘taru lata mahasadi’ yang terdapat di puncak gunung Himawan.
Maka Hanoman diutus untuk mencari daun tersebut. Hanoman menjadi bingung karena gelap, dan tidak bisa mengenal daun tersebut. Ia lalu memotong puncak gunung tersebut dan membawanya ke hadapan Wibisana. Lalu Hanoman mengembalikan puncak gunung tersebut dengan sekali tendang. Wibisana sendiri yang menumbuk daun tersebut lalu dioleskan kepada Laksamana dan prajurit kera lainnya. Seketika itu juga mereka terbangun.
Ketika pagi sudah tiba, semua pasukan wanara siap untuk maju perang. Mereka memutuskan untuk langsung menyerbu ke dalam kota. Indrajit yang sudah merasa yakin telah berhasil membunuh semua musuhnya, pagi-pagi sekali sudah menghadap ayahnya untuk melaporkan kemenangannya.
Ketika itu seorang prajurit menghadap bahwa pasukan musuh sudah mendekati pintu gerbang kota. Mendengar laporan tersebut, Indrajit heran dan penasaran lalu dengan tergesa-gesa mempersiapkan pasukannya menghadang pasukan musuh.
Betapa sedih hati Rahwana mendengar Indrajit, putranya yang tersayang gugur di medan jurit. Dengan menaiki kereta yang ditarik oleh delapan ekor kuda dan diiringi oleh sisa pasukannya Rahwana maju ke medan laga. Terjadi duel hebat antara Rama dan Rahwana. Rama melepaskan panah Gowa Wijaya menembus leher Rahwana sampai putus. Berkat ajian Rawa Rontek yang dimilikinya, kepala dan tubuhnya menyatu kembali. Rama melepaskan kembali panah Gona Wijayanya, dan menembus dada Rahwana. Berkat ajin Pancasonanya, ia hidup kembali. Rahwana melepaskan panahnya bernama Dejayuda yang menembus perut Rama. Tepat pada saat Rama jatuh tersungkur, matahari mulai tenggelam sehingga berdasarkan aturan perang, perang tidak bisa dilanjutkan.
Menurut Tenung Aji Lopian Gambar yang dimiliki oleh Wibisana, panah tersebut tidak boleh dicabut. Untuk menanggulanginya, luka panah tersebut harus diobati dengan air rendaman Watu Wulung pengasah senjata itu. Watu wulung tersebut disimpan dalam kotak di atas tempat tidur Rahwana. Hanoman ditugaskan untuk mencuri Watu Wulung tersebut. Di istana Rahwana ia menyaksikan Rahwana beserta para punggawa kerajaan sedang berpesta pora merayakan kemenangan mereka.
Sudah larut malam, semuanya sudah tidur nyenyak. Dengan mudahnya Hanoman memasuki kamar Rahwana. Untuk lebih amannya ia mengeluarkan aji sirepnya sehingga Rahwana dan istrinya betul-betul tidur nyenyak. Setelah mendapat barang yang dicarinya ia keluar dari kamar itu.
Hanoman yang sudah berhasil mencuri Watu Wulung, segera menyerahkan Watu Wulung tersebut kepada Wibisana. Lalu direndamnya Watu Wulung tersebut. Air rendaman itu diteteskan sedikit demi sedikit pada perut Sang Rama yang terkena panah. Panahpun menjadi menyusut dan hilang. Rama kembali segar seperti semula.
Setelah segar kembali Rama memutuskan pergi ke hutan untuk mohon petunjuk kepada Dewata bagaimana cara mengalahkan Rahwana. Rama bermeditasi dengan khusyuk, Hyang Jagatnata berkenan turun menemuinya. Rama dianugrahi sebuah anak panah yang bernama “Dangu Astra”. Dengan membawa panah tersebut Rama maju ke medan perang. Sebelum melepaskan Dangu Astra, Rama masih memberikan peringatan terakhir kepada Rahwana, agar ia meminta maaf dan mengembalikan Dewi Sita dengan baik-baik. Karena peringatan ini ditolak, maka Dangu Astrapun dilepaskan. Ia menjadi kesakitan yang luar biasa dan melarikan diri. Kemana pun ia pergi diikuti oleh panah Dangu Astra. Dari udara ia melihat celah sempit diantara sepasang bukit batu. Ia lalu masuk ke dalam celah tersebut, sepasang bukit itu bergerak merapat menjepit tubuhnya. Ternyata sepasang bukit batu tersebut adalah jelmaan roh anak kembarnya yang dahulu dipenggal kepalanya untuk menipu Dewi Sita. Rahwana terjepit oleh kedua bukit tersebut, merasa sangat tersiksa sehingga ia memilih untuk mati saja. Dalam keadaan itu ia berusaha berkonsentrasi, melepaskan aji Rawa Rontek dan aji Pancasona yang ada padanya. Rahwanapun meninggal.
Setelah Rawana gugur, tahta Kerajaan Alengka diserahkan kepada Wibisana. Rama member nasehat kepada wibisana bahwa sebagai seorang raja harus melaksanakan ajaran “Asta Brata” serta menerapkan ajaran “Manawa Dharma Sastra”.

Lalu, Hanoman menjemput Sinta untuk dipertemukan dengan Rama. Namun Rama menolak Sinta karena ia berpikir bahwa Sinta sudah tidak suci lagi. Shinta kecewa dan untuk membuktikan kesetiaannya kepada suaminya melalui upacara “labuh geni”, ia menceburkan diri ke dalam kobaran api dan membakar diri. Karena kesuciannya dan atas bantuan Dewa Api, ia tidak terbakar dan selamat. Hal tersebut membuat Rama bahagia dan akhirnya menerimanya kembali menjadi istrinya. Sita pun kembali ke pangkuan Rama.

Rama, Sita, dan Laksamana pulang ke Ayodhya dengan selamat. Hanoman menyerahkan dirinya bulat-bulat untuk mengabdi kepada Rama. Ketika sampai di Ayodhya, Bharata menyambut mereka dengan takzim. Laksamana hendak dianugerahi Yuwaraja oleh Rama, namun ia menolak karena merasa Bharata lebih pantas menerimanya dibandingkan dirinya, sebab Bharata memerintah Ayodhya dengan baik dan bijaksana selama Rama dan Laksmana tinggal di hutan. Tetapi Bharata menyerahkan tahta kepada Sri Rama.

SUNDARI KANDA

Oleh           : Bagus Gede Ariesta Dharma Hendra
No/ kelas   : 05 (lima)/ X2

S
etelah terbang beberapa saat, Hanoman lalu turun di puncak gunung Swela. Dari sana ia melihat ibu kota Alengka yang terletak di atas perbukitan Trikuta. Ia memutuskan untuk memasuki kota pada malam hari. Setelah malam tiba ia mengubah wujudnya menjadi seekor kera yang kecil. Dari gunung Swela ia terbang dari pohon ke pohon sampai di gerbang kota. Dari gerbang kota ia terbang dari atap rumah ke atap rumah berikutnya. Ia mengagumi keindahan (sundari ) kota tersebut di waktu malam. Ia juga mengagumi para prajurit Alengkayang membawa berbagai jenis senjata. Ia juga melihat para penduduk kota yang sedang bersenang-senang. Ada yang sedang mabuk-mabukan, ada yang sedang main judi, dan ada pula yang sedang berkasih-kasihan. Kemudian ia sampai pada sebuah pembaringan yang sangat indah. Di sana ia melihat Rahwana sedang tidur berduaan dengan permaisurinya, Dewi Mandodari. Semula hanoman mengira bahwa wanita itu adalah Sita. Tetapi setelah ia pikir-pikir, ia menyadari bahwa dirinya salah duga. Maka iapun meneruskan langkah untuk mencari Sita. Setelah berkeliling kesana-kemari, akhirnya ia melihat sebuah taman yang banyak pohon bunga asokanya. Taman itulah yang dituju, karena ia menduga, ada kemungkinan besar Dewi Sita ditawan di sana. Setibanya di batas taman, ia lalu memanjat pohon sunsupa yang berdaun rindang.
          Waktu terus berlalu dan sudah hampir subuh. Dari dalam ruangan yang ada di taman tersebut terdengar suara orang menangis.
          Hanomanpun berpikir,  ” Ah, itu pasti Dewi Sita ”
          Maka iapun dengan sabar menunggu sang dewi hingga keluar ruangan. Ketika hari sudah terang, ia melihat Rahwana datang ke taman itu. Diapun merayu Dewi Sita dengan segala macam janji yang muluk-muluk. Dewi Sita dengan tegas menolaknya. Maka Rahwanapun menjadi marah, lalu mengancamnya, ” Aku beri waktu kamu dua bulan. Apabila setelah dua bulan engkau tetap menolak, aku akan memerintahkan tukang masak istana untuk memotong-motong dagingmu menjadi sarapanku.”
          Setelah itu ia memerintahkan dayang-dayang untuk terus membujuk atau mengancam dan menakut-nakuti Sita. Setelah itu iapun meninggalkan taman.
          Setelah Rahwana pergi, para dayang-dayangpun berusaha membujuk, mengancam, dan menakut-nakuti Sita, sesuai dengan perintah tuannya. Dewi Sita sama sekali tidak bergeming. Ia tetap diam dalam tangis kesedihannya.Ada seorang dayang yang berbudi luhur, bernama Trijata. Ia adalah keponakan Rahwana, putri dari Wibisana. Dialah yang selalu menghibur dan membesarkan hati sang Dewi. Trijata lalu mengajak sang Dewi ke Prasada ( candi pemujaan ) untuk memohon kepada Dewata agar dapat bertemu kembali dengan Rama.
          Dalam perjalanan menuju prasada, Trijata dan Sita lewat di bawah pohon sunsupa tempat Hanoman bersembunyi. Hanoman berpikir, bahwa inilah waktu yang tepat untuk menghadap. Maka iapun kembali ke dalam wujud semula, lalu meloncat turun tepat di hadapan Dewi Sita, langsung menghaturkan sembah dan memperkenalkan diri.
          ” Hamba adalah utusan paduka Rama untuk mengatahui keadaan tuan putri.”
          Dewi Sita mencurigai Hanoman. Ia menduga, ini pasti siasat licik dari Rahwana untuk memperdayai dirinya. Iapun bertanya, “ Apa buktinya kamu utusan kakanda Rama? “
          Hanomanpun lalu memperlihatkan cincin sang Rama. Lalu menceritakan secara singkat, bagaimana pertemuannya dengan sang Rama, dan bagaimana pesan sang Rama terhadapnya, terutama berkenaan dengan cincin tersebut.
          Sitapun mempercayai cerita Hanoman, lalu menerima cincin tersebut dan segera memakainya.
          “ Saksikanlah olehmu Hanoman, cincin ini pas masuk ke jari manisku, bukan? ” kata Sita.
          Hanoman lalu menjawab, “Ya, hamba sudah menyaksikannya. Sekarang silahkan tuan putri menyampaikan pesan “.
          Dewi Sitapun menyampaikan pesan, “ Ini cuda manikku berikan kepada sang Rama. Katakan pada beliau, aku ditawan di Taman Asoka. Dalam waktu dua bulan sejak sekarang, ia harus datang membebaskan aku. Kalau tidak, aku pasti jadi santapannya Rahwana”.
          Setelah menerima cuda manikdan pesan dari Dewi Sita, Hanoman lalu pamit.
          Sebelum meninggalkan Taman Asoka, Hanoman berpikir, “ setelah mengetahui keadaan Dewi Sita, dan telah membawa pesan dari beliau, sebetulnya tugasku telah selesai. Tetapi aku ingin membuat jasa yang lebih besar lagi. Aku ingin mendapatkan informasi yang lebih banyak lagi tentang Rahwana dan kekuatannya. Untuk itu, aku akan memulainya dari taman ini “.
          Setelah berpikir demikian maka ia mulai mengobrak-abrik Taman Asoka. Seperti yang diduganya, raksasa para penjaga taman mulai berdatangan. Terjadilah pertempuran antara para raksasa dengan Hanoman. Pasukan penjaga taman tersebut dengan mudah dikalahkan oleh Hanoman. Salah seorang dari mereka segera melarikan diri melapor kepada Rahwana. Rahwana lalu mengutus putranya Aksa untuk mengatasi. Aksa beserta pasukannya juga dikalahkan dengan mudah oleh Hanoman. Rahwana lalu mengutus putranya Indrajit.
          Pertempuran antara Hanoman dengan Indrajit berlangsung dengan hebat. Indrajit melepaskan panah Niraca.Hanoman sengaja membiarkan pahanya tertancap oleh panah niraca tersebut, agar ada bukti bahwa ia telah melakukan pertempuran.
          Indrajit menjadi heran, karena yang sudah-sudah, orang yang terkena panah niraca pasti hancur tanpa sisa. Lalu dipanahnya Hanoman dengan panah Nagapasa. Hanomanpun membiarkan dirinya dililit oleh Nagapasa agar dapat bertemu langsung dengan Rahwana.
          Setelah Hanoman dibelit oleh Nagapasa, para raksasa anak buah Indrajit segera mengikat tangan dan kaki Hanoman dengan tali. Setelah terikat dengan tali, maka belitan Nagapasapun dilepaskan oleh Indrajit. Dengan tangan dan kaki terikat, Hanoman digiring ke hadapan Rahwana di balai persidangan.
           Di balai sidang, Hanoman tidak mau duduk. Maka Rahwana memerintahkan Indrajit supaya memaksa Hanoman duduk. Indrajit berusaha menekan bahu Hanoman, agar ia mau duduk. Tetapi Hanoman sama sekali tidak bergeming. Diam-diam ia memanjangkan ekornya, lalu dilingkarkannya di lantai, lalu dijadikannya tempat duduk, sehingga sama tingginya dengan Rahwana. Rahwana memandang Hanoman dengan sinar matayang memancarkan kemarahan, lalu berkata, “ Hai monyet jelek apa tujuanmu kemari? Dan apa yang kau dapat dengan merusak Taman Asoka?”.
          Hanoman menjawab, “ Namaku Hanoman. Aku datang kemari diutus oleh rajaku Sugriwa atas perintah sri Rama, untuk menyelidiki, di mana Dewi Sita disembunyikan serta untuk mengetahui keadaannya. Aku merusak tamanmu, karena aku ingin dapat berhadapan langsung denganmu. Sekarang aku memperingatkan kamu. Kembalikanlah Dewi Sita kepada paduka Rama. Sebab, kalau tidak, kamu dan seluruh negaramu akan dihancurkan. Ketahuilah bahwa di ketiga dunia ini tidak seorangpun akan lepas dari penderitaan apabila berani mengganggu paduka Rama”.
          Mendengar kata-kata itu, kemarahan Rahwana menjadi memuncak, hingga secara spontan ia menyuruh agar kera itu segera dibunuh. Wibisana, adik Rahwana merasa bahwa sikap kakaknya itu tidak bijaksana. Dengan lembut ia mengingatkan kakaknya, bahwa seorang utusan tidak boleh dibunuh.
          Mendengar peringatan dari adiknya, Rahwana menjadi sadar, lalu katanya, “ Wibisana, kau benar. Tidak dibenarkan membunuh utusan. Aku akan memberi hukuman lain kepadanya, yaitu membakar ekornya “.
          Maka iapun memerintahkan untuk membungkus ekor Hanoman dengan ijuk, lalu mebakarnya. Perintahnya segera dilaksanakan.Begitu ekornya disulut,Hanoman menjadi sangat marah. Ia lalu mengerahkan tenaga, sehingga semua ikatannya terputus. Ia lalu meloncat ke atas, hingga sampai ke atap istana, hingga atap istana menjadi terbakar. Dari atap istana ia meloncat ke bangunan-bangunan lainnya, sehingga terjadi kebakaran hebat di kota Alengka.
          Sementara kebakaran melanda Alengka, Wibisana memperingati kakaknya, bahwi ini merupakan tanda permulaan akan kehancuran Alengka. Agar Alengka tidak mengalami kehancuran, Dewi Sita hendaknya segera dikembalikan. Mendengar kata-kata adiknya itu, Rahwana menjadi sangat marah, dan secara spontan memukul kepala adiknya dengan limping, sehingga adiknya jatuh tersungkur, menggeletak di tanah. Rahwana mengira, bahwa adiknya yang dianggapnya sebagai duri dalam daging telah meninggal, lalu menyuruh membuangnya ke gunung Swela.
          Sementara itu, Hanoman yang sedang asyik membakari rumah-rumah di Alengka, tiba-tiba menjadi terkejut dan takut, jangan-jangan api sampai merambat ke taman Asoka. Oleh karena itu, ia memadamkan api yang ada diekornya, dengan jalan mencemplungkan ekornya ke laut. Ia lalu menuju ke Taman Asoka untuk mengetahui keadaan taman tersebut. Kedatangannya disambut oleh Trijata dengan isak tangis yang pilu. Hanoman mengira ada apa-apa dengan Dewi Sita, lalu bertanya, “ Adik Trijata, apa yang terjadi dengan sang Dewi? Trijata lalu menjawab, “ Baliau baik-baik saja kanda. Aku sedih karena ayahku Wibisana dibunuh oleh Rahwana, karena ayahku menyuruh mengembalikan Dewi Sita kepada paduka Rama. Jenazahnya dibuang ke gunung Swela. Adik mohon bantuan kanda untuk menyempurnakan jenazah ayah sepatutnya “. Hanoman menyanggupi permintaan Trijata. Hanoman lalu diajak menghadap Dewi Sita. Dewi Sita menyambut kedatangan Hanoman dengan gembira. Setelah mengetahui bahwa Dewi Sita baik-baik saja, Hanoman lalu mohon pamit.
          Hanoman terbang menuju gunung Swela. Atas kemurahan Dewata, ia langsung menemukan tubuh Wibisana. Setelah tubuh itu diambil, Hanoman merasakan, bahwa tubuh itu masih hangat. Maka ia mengira Wibisana belum meninggal, melainkan hanya pingsan saja, dan masih ada harapan untuk hidup. Maka tubuh itupun dibawa terbang.
          Setelah Hanoman tiba kembali di gunung Mahendra, pasukannya segera menjemputnya. Mereka melihat anak panah yang masih menancap di paha Hanoman, yang menandakan bahwa ia telah berperang. Hanomanpun lalu menceritakan seluruh pengalamannya. Merekapun segera berangkat ke gunung Maliawan, langsung menghadap Rama, Laksamana dan Sugriwa, dan menceritakan seluruh pengalaman mereka. Hanoman juga menjelaskan tentang tubuh yang dipanggulnya.Rama lalu menyuruh Hanoman untuk menaruh tubuh itu di pembaringan. Panah yang menancap di paha Hanoman langsung dicabut oleh Rama. Selanjutnya Ra,ma merawat tubuh Wibisana sampai ia tersadar. Setelah sadar, Wibisana langsung menyembah sang Rama, menyampaikan terima kasih, lalu menyatakan putus hubungan dengan Rahwana, dan berjanji mengabdi sang Rama, terutama akan berusaha membantu Rama untuk mendapatkan kembali Dewi Sita.
          Setelah mendapatkan laporanbahwa Dewi Sita dikurung dalam Taman Asoka, dalam keadaan masih suci, dan mengharapkan agar Rama segera menjemputnya, maka Ramapun memerintahkan agar pasukan segera diberangkatkan. Maka berangkatlah pasukan ke arah selatan, hingga sampai di gunung Mahendra.

KISKHINDA KANDA

Oleh           : Komang Angga Antika Putra
No/ kelas   : 04 (empat)/ X2

R
ama dan Laksamana kembali ke pondoknya. Tapi betapa kagetnya mereka karena Sita tidak berada di sana. Menitiklah air mata Rama karena sedihnya. Keluhnya terbawa angin menerobos hutan dan terbawa debur gelombang lautan. Laksamana pun tak henti-hentinya menyesali dirinya karena pergi meninggalkan Sita.
Kedua satria itupun pergilah mencari Sita. Dijelajahinya rimba belantara, didakinya bukit, dan dituruninya lembah. Namun tiada jejak sedikitpun yang ditemukannya. Akhirnya Rama melihat seekor burung garuda yang terkapar di tanah tanpa daya. Hanya pada paruhnya terdapat sebentuk cincin. Rama mengamati cincin itu dan seketika itu juga dikenalinya sebagai cincin Sita.
Jatayu dengan tersendat-sendat berkata bahwa Sita dilarikan oleh raja raksasa Rahwana. Jatayu tak dapat berkata lebih banyak karena tubuhnya telah lemah lunglai dan kehabisan tenaga. Sesaat kemudian Jatayu pun menghembuskan nafas penghabisan. Rama menyadari bahwa garuda yang telah tiada itu adalah sahabatnya. Sebagai penghormatan terakhir, burung garuda itu pun dibakarnya dengan disertai upacara yang khidmat.
Walaupun Rama dan Laksamana telah mengetahui siapa yang melarikan Sita, tetapi mereka belum mengetahui nama dan letak negara raja raksasa itu. Maka mengembaralah kedua satria itu mendaki gunung-gunung yang tinggi, menyusuri tebing-tebing yang curam, dan menuruni lereng-lereng yang terjal. Tiba-tiba dari balik semak belukar munculah makhluk yang aneh wujudnya. Tubuhnya seperti raksasa tetapi berkepala dua. Salah sebuah kepalanya terletak pada bagian perut. Dengan suara mendesis-desis, raksasa itu segera menyerang Rama dan Laksamana. Sangatlah sukar bagi Rama dan Laksamana untuk berperang karena tempat itu penuh dengan semak belukar dan akar-akar pohon yang melintang menghambat gerak.
Rama menjauhi tempat itu lalu dibidiknya raksasa itu dengan panahnya. Sesaat kemudian terlepaslah sebuah anak panah dari busurnya. Anak panah itu menembus dada sang raksasa. Tiba-tiba raksasa itu berubah menjadi dewa. Rama dan Laksamana menghampiri dewa itu lalu menyembahnya. Dewa itu bercerita bahwa ia dahulu terkena kutuk Hyang Siwa sehingga ia berubah menjadi raksasa berkepala dua. Ia menyatakan terima kasihnya kepada Rama yang telah memanahnya sehingga ia berubah kembali menjadi dewa.
Rama dan Laksamana meneruskan perjalanannya. Tibalah keduanya pada sebuah telaga lalu mereka beristirahat di tepi telaga itu. Air telaga itu amat jernih sehingga tampak ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Berbagai jenis ikan itu berenang kian kemari. Ikan-ikan tersebut  bermacam-macam warnanya. Ada yang kuning keemasan, merah berkilauan, biru, putih, dan kelabu. Udang, kepiting dan penyu tampak pula menghuni telaga itu. Bunga-bunga teratai mekar di permukaan air telaga. Ada yang merah dan ada yang putih.
Begitu asyiknya Rama dan Laksamana menikmati keindahan alam sehingga mereka tidak mengetahui bahwa di belakangnya ada seekor buaya yang mengintai. Mulut buaya itu terbuka lebar-lebar dan siap hendak menyambar. Tetapi kedua satria itu telah terlatih untuk menghadapi setiap bahaya. Ketika buaya itu mulai bergerak hendak menyergap, Rama dan Laksamana segera membalikkan badan sambil meloncat menghindari sergapan. Dengan mudah buaya itu dibunuhnya dengan senjata.
Ternyata buaya itu adalah  penjelmaan seorang dewi yang dahulu terkena kutukan dewa. Kini dewi itu terbebas dari kutukan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Rama dan Laksamana, dewi itu terbang kembali ke sorga. Sebelum dewi itu terbang kembali ke sorga, ia berpesan kepada Rama agar Rama dan Laksamana pergi ke hutan Pancawati. Di hutan itulah akan didapatkan petunjuk guna mencari Sita.
Maka berangkatlah Rama dan Laksamana menuju hutan Pancawati. Betapa jauhnya mereka berjalan, menerobos semak belukar, mendaki gunung, kemudian menyusuri tepi pantai. Betapa damai hati kedua satria itu melihat langit yang kebiruan. Sejauh mata memandang tampak cakrawala dan permukaan samudra yang luas.
Kedua satria Ayodya itu berteduh di bawah pohon yang rindang. Tiba-tiba muncullah seekor kera putih yang sejak tadi telah mengintai perjalanan kedua satria itu. Kera putih itu tampak bijaksana, bahkan amat sopan sikapnya terhadap Rama dan Laksamana. Kera putih itu menyembah di hadapan Rama. Ia menyebut namanya, Hanuman, dan ia berasal dari Pancawati. Rama dan Laksamana heran menyaksikan kera putih Hanuman yang dapat berbicara seperti manusia. Hanuman bercerita bahwa rajanya yang bernama Sugriwa berada di hutan Pancawati karena diusir dari kerajaan Kiskenda oleh kakaknya yang bernama Subali. Hanuman memohon  Rama untuk menolong Sugriwa  menduduki kembali takhta kerajaannya. Rama menyanggupi, Rama pun bercerita bahwa pengembaraannya di hutan itu sebenarnya untuk mencari istrinya yang diculik oleh raja raksasa Rahwana. Dengan diantar Hanuman, Rama dan Laksamana pergi menuju hutan Pancawati. Sebagai penunjuk jalan Hanuman mendahului mereka sambil meloncat di antara pepohonan.
Ketika tiba di suatu tempat Rama merasa kehausan. Laksamana disuruhnya mencari air. Pada sebuah batang pohon Laksamana melihat air mengalir turun ke bawah. Maka ditampungnya air itu dengan buluh. Ternyata air itu adalah air mata Sugriwa yang tengah bertapa duduk di atas sebatang pohon yang tinggi. Hanuman segera memanjat pohon itu. Lalu Sugriwa pun turun dan bertemu dengan Rama dan Laksamana. Sugriwa amat terharu mendengar kisah Rama yang tengah hidup dalam pembuangan. Ditambah pula ia kehilangan istrinya karena diculik oleh raja raksasa Rahwana. Sugriwa berjanji akan membantu Rama mencari Sita. Rama pun merasa senasib dengan Sugriwa yang terusir dari kerajaanya. Satria Ayodya itu menyatakan  kesediaannya membantu Sugriwa merebut kembali takhtanya yang diduduki oleh Subali.           
Sugriwa ingin melihat kepandaian Rama dalam memanah. Dengan segala senang hati Rama bersedia untuk memperlihatkan kecakapannya. Di dalam hutan itu terdapat tujuh batang pohon tal dan Rama hanya dengan sekali bidikan dapat merobohkan ketujuh batang pohon itu. Sugriwa dan Hanuman amat kagum melihat ketangkasan Rama dalam memanah.
Sugriwa diantar oleh Rama pergi ke kerajaan Kiskenda. Hanuman dan para kera yang ribuan jumlahnya ikut pula mengiringkan. Sesampainya di depan istana Kiskenda Sugriwa berteriak-teriak memanggil Subali sambil menantang berperang tanding. Suara Sugriwa begitu kerasnya sehingga Subali terkejut. Hati Subali amat panas demi mendengar tantangan adiknya. Timbullah amarahnya, lalu ia bangkit dan keluar dari istana. Ia hendak memenuhi tantangan Sugriwa. Maka berhadap-hadapanlah kedua kakak beradik itu. Keduanya saling ancam, dengan disaksikan ribuan kera, bertarunglah Sugriwa dan Subali dengan amat sengitnya. Dengan penuh geram keduanya bergantian menyerang, tinju-meninju, cekik-mencekik,  cakar-mencakar dan bergulat tindih-menindih. Debu berkepulan. Masing-masing memeras tenaga, beradu dan berlaga dengan sengitnya.
Pertarungan kedua kakak-beradik itu belum berakhir juga. Sugriwa dengan sekuat tenaga mencabut sebatang pohon tal, lalu dihantamkannya kepada Subali. Subali rubuh, tapi ia segera bangkit lagi. Subali memuncak amarahnya. Sugriwa ditangkapnya, lalu dilemparkannya jauh-jauh.
Sugriwa mendekati Rama dan bertanya mengapa Rama belum juga membantu. Rama menjawab bahwa ia ragu-ragu untuk melepaskan panahnya karena Sugriwa dan Subali amat mirip . Rama menyuruh Sugriwa berkalung janur agar mudah dibedakan dari Subali. Tak lama kemudian Sugriwa dengan berkalungkan janur kembali ke medan pertarungan. Ditantangnya Subali bertanding lagi. Mendengar tantangan Sugriwa itu, Subali pun semakin membara amarahnya. Diterkamnya Sugriwa, lalu diringkusnya sampai ia tak dapat bergerak sama sekali. Pada saat itulah Rama mengangkat busurnya. Dibidiknya Subali, dan sesaat kemudian terlepaslah anak panah dari busur Rama. Panah itu menancap di dada Subali, dan rubuhlah Subali ke tanah.
Terlepaslah Sugriwa dari bahaya maut. Tetapi setelah melihat mayat Subali, hatinya menjadi sedih. Betapa sengit permusuhan kedua saudara itu. Setelah Sugriwa menyaksikan kematian kakaknya, ia pun tak dapat menahan air matanya. Sambil terisak-isak dirangkulnya tubuh kakaknya. Ketika Rama mendekat, Sugriwa menyembah sambil mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Sugriwa dengan rela hati menyilakan Rama menjadi raja di Kiskenda. Rama menolaknya karena ia masih menjalankan perintah ayahandanya almarhum, yaitu hidup dalam pembuangan. Menurut pendapatnya, sudah sewajarnyalah jika Sugriwa kini menduduki takhta Kerajaan Kiskenda.
Rama berpesan agar Anggada, yaitu putra Subali, diambil anak oleh Sugriwa. Begitu pula Dewi Tara, yaitu ibu Anggada, supaya diangkat sebagai permaisuri. Sugriwa menyatakan akan memenuhi perintah Rama, lalu menyembahlah ia di hadapan satria Ayodya itu. Semua kera pengikut Sugriwa pun menyembah bersama-sama.
Sugriwa beserta para kera, yaitu Hanuman, Anggada, Susena, Hanila, Jambawan, Gaya, Gawaksa, dan pemuka kera lainnya datang menghadap Rama. Sugriwa berkata kepada para kera bahwa sebagai balas budi kepada Rama, maka seluruh bala tentara kera Kiskenda harus ikut mencari Sita yang hilang diculik Rahwana. Para kera pun menjawab bahwa mereka bersedia mencari Sita sampai dimanapun.
Sugriwa memerintahkan balatentara kera mencari Sita sampai ke daerah pegunungan Widarba dan Misori, pula sampai ke tanah Matsya, Kalingga, Kausika, Andra, Chola, Chera dan Pandya. Sungai-sungai Gangga, Jumna dan Serayu harus disusuri. Lembah-lembah yang dalam harus dituruni, dan gunung-gunung yang tinggi harus didaki. Setelah menerima perintah Raja Sugriwa, maka balatentara Kiskenda berangkatlah. Mereka menyebar ke segenap penjuru. Setiap jurang ditengok, kalau-kalau Sita disembunyikan raja raksasa Rahwana di situ. Setiap gunung didaki, setiap semak dikuakkan. Mereka masuk ke dalam gua-gua, menjelajahi desa-desa, dan menyusuri pantai.
Namun usaha mereka sia-sia. Akhirnya mereka kembali ke Kiskenda tanpa membawa hasil. Lalu Sugriwa teringat bahwa ada sebuah pulau yang terletak di selatan. Pulau itu harus dijelajahi pula karena mungkin Sita disembunyikan Rahwana di tengah pulau itu. Hanumanlah yang diserahi tugas oleh Sugriwa untuk meninjau keadaan pulau itu serta meneliti jejak raja raksasa Rahwana. Sugriwa yakin bahwa Hanuman akan sanggup menjalankan tugasnya. Sebelum Hanuman berangkat, Rama menitipkan sebuah cincin kepadanya. Jika Hanuman bertemu dengan Sita, maka cincin itu menjadi bukti bahwa Hanuman adalah duta Rama.
Hanuman berangkatlah menuju arah selatan. Siang malam ia melompat-lompat tak kunjung lelah di antara pepohonan. Sebagai duta ia ingin melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya serta secepat-cepatnya. Sesampainya di pantai selatan ia terhalang oleh lautan. Sebagai putra Dewa Bayu ia bersemadi meminta pertolongan agar diantarkan angin terbang ke Pulau Langka. Tak lama kemudian datanglah angin badai. Hanuman diterbangkan tinggi-tinggi ke angkasa dan melayang menuju Pulau Langka. Setibanya  di pulau itu,  ia berjalan mengendap-endap, kadang melompat-lompat melalui cabang-cabang pohon agar tidak tampak oleh raksasa penghuni pulau itu.

ARANYA KANDA


Oleh           : A.A Sg Winda Wulandewi
No/ kelas   : 03 (tiga)/ X2

S
etelah selesai menuntut ilmu di suatu petapaan, Rama, Sinta dan Lesmana kembali memasuki hutan. Mereka sudah terbiasa dengan kehidupan di hutan. Kehidupan mereka tidak ada bedanya dengan kehidupan para pendeta, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa mereka adalah putra-putri raja. Pada suatu hari mereka berjalan keluar dari hutan tersebut. Mereka melihat  banyak pendeta  dari berbagai petapaan yang hidupnya sangat sederhana . Melihat  para pendeta itu Rama kagum. Mereka meneruskan perjalanan samba bercakap-cakap sebentar dengan Lesmana tentang pendeta-pendeta tersebut.  Tidak terasa perjalan mereka telah sampai di pertapaan Dandaka. Kedatangan mereka sambut meriah oleh penduduk di Gunung Dandaka. Orang-orang ingin menyaksikan dan mengelu-elukan putra-putri raja Ayodya yang telah menewaskan Raksasa Wirada. Mereka dielu-elukan sebagai pahlawan karena telah menewaskan Raksasa Wirada. Rakyat di sana hidup dengan rukun dan damai juga tekun bersemedi. Rama memutuskan untuk tinggal di Dandaka untuk waktu yang tidak ditentukan. Kehadiran mereka membuat kehidupan di daerah itu menjadi lebih tentram dan di daerah tersebut terasa ada pengayoman. Pada waktu malam Rama melakukan Semedi sedangkan pada waktu siang Ia, istri dan adiknya bercengkrama di hutan sekitar. 
            Sudah lama Rama, Sinta dan Lesmana tinggal di Dandaka. Mereka senang menyaksikan kehidupan rakyat kecil yang sudah mulai meningkat, bertambah tentram, dan orang-orang bersemedi dan menuntut ilmu tiada gangguan. Pada suatu hari di hutan Dandaka tibalah seorang putri raksasa yang bertubuh besar tinggi, matanya menyala-nyala, mulutnya terbuka dengan gigi besar dan bertaring.  Pakaiannya pun gemerlapan yang menandakan ia bukan raksasa sembarangan, melainkan seorang putri raksasa. Ia adalah Sarpakenaka, putri Alengka adik Prabu Rahwana. Sarpakenaka  sangat sakti. Pada waktu itu sarpakenaka sedang mengemban tugas dari kakaknya Prabu Rahwana untuk melakukan pengawasan perbatasan.  Ia terbang melaang-layang di atas gunung, persawahan dan akhirnya tiba di Dandaka. Pada waktu itu Sarpakenaka  sedang beristirahat duduk  di sebatang pohon tumbang di tengah hutan yang tersembunyi. Tiba-tiba ia terkejut mendengar suara canda gurau seorang pria dan seorang wanita. Sarpakenaka bangkit. Jantung Sarpakenaka berdebar menyaksikan kedua insan yang sedang bergandengan tangan dengan mesra. Tak jauh dari situ Sarpakenaka melihat seorang lagi kesatria yang berdiri menyendiri. Ia berparas sangat elok, bagaikan Batara Asmara. Ternyata kesetria itu merupakan Lesmana. Sarpakenaka pun langsung jatuh cinta kepada Lesmana yang baru dilihatnya itu. Putri raksasa itu sangan lihai dalam merubah dirinya. Ia pun langsung merubah dirinya menjadi seorang putri yang sangat cantik. Ia pun langsung mendekati Lesmana dan menyapanya. Lesmana yang semulanya melamun pun kaget dengan kedatangan putri palsu tersebut. Karena Lesmana layaknya seorang pendeta wadat tidak kawin. Lesmana menyarankan putri palsu tersebut mendekati Ramawijaya kakaknya yang tidak berada tidak jauh darinya. Putri palsu jelmaan Sarpakenaka itu pun langsung mendekati Rama, ia menggoda Rama seperti menggoda Lesmana. Namun sayangnya Rama menolaknya dengan mentah-menta karena cinta Rama hanya untuk putri Mantili Dewi Sinta isrinya yang kecantikannya tidak ada bidadari yang dapat menandinginya. Mendengar ucapan Rama, Sarpakenaka pun merasa malu sekali dan ia kembali ke tempat Lesmana. Ia marah bukan kepalang kepada Lesmana. Nafsu birahi putri jelmaan Sarpakenaka itu pun memuncak dan tanpa basa basi lagi ia langsung saja menggulat Lesmana. Lesmana merasakan ada sesuatu yang janggal. Lesmana langsung memusatkan pikiran dan hidungnya pun mencium bau keringat raksasa, pengelihatannya yang jernih dapat melihat wajah asli dari siapa yang sedang dihadapinya itu. Lesmana tanpa ragu-ragu lagi diputirnya hidung putri palsu tersebut hingga putus. Sarpakenaka seketika berubah kembali seperti wujud aslinya. Ia menjerit kesakitan dan terbang melesat ke udara dan menggeram seperti singa dan berteriak menantang. Sarpakenaka menangis di udara. Seletah puas menangis, ia segera mendarat di Alengka dan menemui kedua suaminya yaitu Karadusana dan Trimurda.  Sarpakenaka berbohong pada suaminya. Ia mengatakan kalau ia ingin diperkosa oleh Rama dan Lesmana. Sungguh licik Sarpakenaka. Mendengar cerita dari Sarpakenaka, suaminya pun marah. Tangan Karadursana dan Trimurda memukul tanah sehingga debu dan pasir beraburan ke atas. Mereka pun langsung menyiapkan dan membawa satu laksa raksasa ke Dandaka. Raksasa-raksasa itu terbang besenjata lengkap dan pakaian yang bergemerlapan. Tiba mereka di atas daerah Dandaka, mereka terbang melayang mengitari gunung mencari Rama dan Lesmana.
            Ternyata Rama dan Lesmana sudah bersiap dari tadi. Keduanya muali menarik panah sakti dan akibatnya sangat menakjubkan. Bagaikan hujan, bangkai raksasa berjatuhan di tanah. Raksasa Trimurda pun geram melihat perlakuan kedua putra Aodya tersebut terhadap pasukannya. Ia menukik ke tanah menyambar dan menyerang Rama. Namun sayangnya Rama dengan cekatan telah melepas paanah dadalinya yang mengakibatkan Trimurda tewas dengan leher putus. Melihat Trimurda tewas, raksasa Karadusana marah bukan kepalang. Ia kembali menyerang Rama. Tapi panah dadali tetap saja menyerang dan mengakibatkan raksasa Karadusana tewas dengan leher terputus juga. Sisa-sisa raksasa yang terbang masih banyak. Langit terasa mendung. Raksasa-raksasa itu melempar Rama dan Lesmana dengan gada alugora dan limpung. Tidak sedikit yang menyerang dengan melesatkan anak panah. Namun Lesmana cepat menarik panah sakti dan Rama tetap menarik panah dadali. Alhasil semua raksasa itu tewas dan jatuh ke tanah bagaikan hujan. Suluruh rakyat Dandaka bersorak gembira. Mereka menaburkan bunga tanda syukur.
            Sarpakenaka yang sedang menderita lahir batin di istana menerima laporan dari raksasa pengintai pertempuran di Dandaka mengenai tewasnya kedua suaminya juga seluruh pasukan terbangnya. Sarpakenaka segera melesat terbang ke istana kakaknya raja Alengka Prabu Rahwana. Prabu Rahwana sangat sakti dan memiliki aji-aji pancasona yang membuatnya tuidak dapat mati. Banyak raja yang sudah ditaklukannya. Ayahnya adalah Bagawan Wisrawa dan ibunya Dewi Sukesi. Rahwana memiliki tiga adik. Yang pertama raksasa Kumbakarna yang bertubuh besar dan tinggi seperti gunung, yang kedua putri raksasa Sarpakeneka. Sedangkan yang ketiga dan yang bungsu Raden Arya Wibisana atau Gunawan yang berparas elok. Ini hasil permohonan Bagawan Wirsawa dahulu kepada Dewa. Wibisana sangat bijaksana, cerdas dan mengetahui apa yang akan datang. Empat putra Bagawan Wirsawa sudah memiliki istana sendiri-sendiri. Rahawana tinggal di istana Alengka yang sangat indah. Waktu itu Rahwana sedang duduk sendirian. Tiba-tiba datang Sarpakenaka menubruknya dan langsung melakukan sembah su  ngkem dan menjerit. Sarpakenaka melapokan tentang tewasnya kedua suaminya dan pasukan terbangnya. Ia juaga menceritakan tentang 2 kesatria Ayodya yang telah menewaskan suami dan pasukannya. Satu lagi ia juga menceritakan tentang kecantikan dari istri Rama yaitu putri Mantili. Setelah Sarpakenaka bercerita panjang lebar ia meminta bantuan Prabu Rahwana. Pertamanya Prabu Rahwana tidak tertarik dengan laporan dari adiknya itu. Namun pada saat Sarpakenaka menceritakan tentang istri Rama yang katanya kecantikannya tidak ada yang bisa  menandingi, Rahwana mulai bangkit dan penyakitnya mulai kambuh lagi untuk mengejar sampai dapat istri-istrinya yang sekarang, dan juga akan melakukan itu juga untuk mendapatkan putri Mantili. Muka Rahwana merah padam matanya menyala-nyala. Rahwana berkata pada adiknya bahwa ia akan menghadapi Rama dan Lesmana. Setelelah Rahwana berbicara ia langsung terbang ke perbatasan dimana Marica bertempat tinggal. Sesampai di perbatasan Marica menyambut Rahwana dan melakukan sembah sungkem. Rahwana mengajak Marica ke Dandaka untuk mencari Rama dan Lesmana. Namun Marica masih takut karena Rama dan Lesmana sangat sakti dan dapat membunuh satu laksa raksasa bersama raksasa Karadusana dan Trimurda juga ikut terbunuh. Marica yang tertegun dengan kesaktian putra Ayodya itu. Ia terus mengungkapkan kesaktian mereka. Itu membuat Rahwana marah besar terhadap Marica yang telah memuji Rama dan Lesmana setinggi langit. Rahwana pun hampir menusukan Candrasa ke leher Marica. Dan mereka pun akhirnya pergi ke Dandaka dengan Marica merubah diri menjadi kijang kencana berbulu keemasan untuk menarik perhatian putri Mantili. Bala tentara Marica pun mengintai dari kejauhan.
            Pada waktu itu Dewi Sinta sedang berada di hutan Dandaka bersama Rama dan Lesmana. Dewi Sinta yang pertama melihat kijang kencana itu. Ia kagum karena baru kali ini ia melihat kijang berbulu keemasan. Sinta meminta kepada Rama agar ditangkapnya kijang itu. Rama dengan sanang hati menuruti kehendak istrinya. Dikejarnya kijang kencana itu namun sebelumnya Rama berpesan pada Lesmana agar dalam keadaan bagaimanapun agar ia tidak meninggalkan Sinta. Rama pun mengejar kijang yang larinya sangat cepat itu. Rama semakin terpisah dengan istrinya Sinta. Kijang itu seperti minta ditangkap. Tapi kalau Rama mendekat kijang itu malah lari. Namun saat Rama ketinggalan jauh kijang itu menunggu seolah ia ingin Rama menangkapnya. Akhirnya betapa sabarnya Rama, namun dia bisa marah juga. Rama melepaskan panahnya menuju kijang itu. Kijang itu pun menggelepar, tubuhnya bersimbahan darah segar dan berubah wujud aslinya menjadi Raksasa Marica. Raksasa Marica yang cerdik itu sangat setia dengan Rahwana. Ia mengorbankan seluruh hidupnya untuk gustinya. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, Marica mengeluarkan rintihan mengaduh seperti suara rintihan Rama. Dengan teus menyebut nama Lesmana untuk menolongnya. Dewi Sinta pun terkecoh oleh Marica. Ia menugaskan Lesmana untuk menolong Rama suaminya yang diduganya sedang terluka. Namun Lesmana tidak mau. Ia masih ingat dengan pesan kandanya yag menyuruhnya jangan meninggalkan Sinta meskipun dalam keadaan apa pun. Namun Dewi Sinta salah paham. Ia malah menuduh Lesmana yang bukan-bukan. Lesmana sedih sekali hatinya mendengar kata-kata yang dituduhkan oleh Dewi Sinta terhadapnya. Lesmana pun meneteskan air mata. Ia meminta maaf kepada Dewi Sinta.  Lesmana pun menuruti kehendak Dewi Sinta untuk menyusul kakaknya, Rama dan meninggalkan Dewi Sinta di sana. Melihat Lesmana sudah jauh dari Dewi Sinta, Rahwana segera muncul dari tempat persembunyiannya dengan merubah diri menjadi seorang kakek, seorang pendeta yang sudah lanjut usia. Pendeta palsu itu berjalan sempoyongan dengan susah payah. Kelihatannya ia letih sekali, kepalanya yang gundul plontos itu berkucir di bagian belakang. Giginya mengeluarkan suara gemetar seperti kedinginan. Ia membawa labu kosong untuk mencari air. Ia berjalan setapak demi setapak seperti orang yang sudah benar – benar terlampau tua. Ia mencari perhatian Dewi Sinta yang sedang berdiri sendirian.
Rahwana yang menjelma menjadi pendeta tua mulai membuka percakapan dengan Dewi Sinta. Pendeta itu banyak bertanya pada Dewi Sinta. Ia bertanya nama, dari istana mana, dan putri siapa. Sinta pun menjawab semua pertanyaan dari pendeta itu. Dia juga mengatakan bahwa ia istri dari Rama, putra almarhum Prabu Dasarata yang tertua dari negeri Ayodya. Pendeta itu berkata bahwa Sinta salah memilih pasangan hidup, padahal di negeri Alengka sana ada yang namanya Prabu Rahwana, prabu yang sakti mandraguna yang sekarang sedang kesepian yang menginginkan Sinta menjadi istrinya. Setelah berkata seperti itu, pendeta palsu itu langsung menubruk Sinta dan membawanya terbang ke angkasa dan seketika Rahwana merubah wujudnya seperti semula. Dewi Sinta menjerit dan berteriak meminta tolong. Ia menangis keras – keras di udara dan tangisannya itu kedengaran sampai hutan di sekitarnya. Sinta menangis sambil memanggil nama suaminya, Rama, dan adiknya, Lesmana. Pada waktu itu ada seekor burung raksasa yang bernama Jatayu. Ia mendengar jeritan Dewi Sinta dan mencoba menolongnya karena diketahui bahwa Dewi Sinta merupakan menantu dari Prabu Dasarata yang sejak dulu adalah teman karibnya. Jatayu mengetahui bahwa itu pasti ulah Rahwana. Ia kemudian mencari arah datangnya suara. Ia terbang dengan begitu cepat. Tak lama kemudian Jatayu melihat sebuah titik hitam di udara dari kejauhan yang ternyata itu adalah Rahwana. Ia mengejar sambil berteriak, “Hei, berhenti!”. Mendengar teriakan itu Rahwana menoleh. Dilihatnya seekor burung besar mengejarnya. Ia marah sekali dan dicabutnya senjata Candrasa. Sebelum sempat Rahwana menyerang Jatayu segera melesat menukik menyambar dari atas. Ia menyerang Rahwana dan mulai bercucuran darah segar dari mulut Rahwana. Tulang iga Rahwana hancur. Sebelum tewas, Rahwana melambaikan tangan memanggil bala tentaranya yang mengikutinya dari kejauhan. Dan dilemparnya Dewi Sinta kepada mereka. Sinta diterima oleh mereka dan dimasukkan kedalam kereta. Jatayu marah dan langsung menyerang perwira – perwira raksasa yang mengawal kereta. Semuanya tewas. Kereta itu diterjangnya hancur. Sinta yang terlempar dan akan jatuh ke tanah diterkamnya dan dibawanya terbang ke udara. Tubuh Rahwana yang sudah tewas, ketika menyentuh tanah, hidup lagi karena Rahwana memiliki aji – aji pancasona yang diterimanya dari Subali, ketika tubuhnya menyentuh tanah, dia akan hidup kembali.
Rahwana langsung meluncur ke udara mengejar Jatayu.  Jatayu terkejar Rahwana yang sangat marah itu. Jatayu diserang dengan menggunakan senjata Candrasa milik Rahwana. Jatayu mengalami luka parah. Sayapnya patah. Ia lemah dan tubuhnya meluncur ke tanah. Sinta terlepas dari punggungnya. Sinta lalu disambar oleh Rahwana dan segera dibawa ke Alengka. Setibanya di Alengka, Sinta segera diserahkan kepada kemenakannya, Dewi Trijata Putri dan Raden Wibisana. Trijata merawat Sinta dengan penuh kecintaan. Sekjak saat itu Sinta tinggal di Alengka bersama Trijata. Hati Sinta sangat sedih. Ia jarang mau makan dan minum. Tubuhnya menjadi kurus. Setelah 3 hari Sinta berada di taman itu, Rahwana datang. Rahwana mencoba merayu Sinta untuk menjadi istrinya. Namun Sinta menolak. Ia mengancam bunuh diri karena dipaksa. Trijata pun menghibur Sinta dengan kebesaran hatinya.
Pada waktu Kijang Kencana yang terpanah oleh Rama itu tewas, wujudnya kembali menjadi Marica. Setelah itu Rama segera meninggalkan tempat tersebut dan cepat – cepat mencari istrinya. Setelah Rama kembali ke tempat istrinya semula, ia tidak menemukan seorangpun, baik itu Lesmana, maupun Sinta. Mukanya menjadi pucat. Ia khawatir akan keselamatan istrinya. Tak lama kemudian, Lesmana muncul. Rama menanyakan istrinya kepada Lesmana. Lesmana pun melaporkan bahwa tadi Sinta menugaskannya untuk mencari Rama. Namun entah mengapa Sinta menghilang. Mendengar laporan adiknya, hati Rama hancur dan Rama pun pingsan. Lesmana memeluk Rama sambil berkata, “Bangunlah Kanda. Bukankah kita ini sekedar makhluk ciptaan dewa. Sudah barang tentunya kita tidak terbebas dari rasa sakit, sdih dan lain sebagainya. Bangunlah Kanda.” Rama terbangun pandangannya masih kabur. Rama seperti orang gila yang tersenyum sendiri. Ia seperti melihat bangan Sinta di celah-celah pohon. Rama menjadi gandrung. Tingkah lakunya seperti orang gila.

AYODHYA KANDA

Oleh           : I Gede Adi Guna
No/ kelas   : 02 (dua) / X2

K
edatangan rama disambut gembira oleh seluruh rakyat kosala. Semua memuji-muji atas kesaktian sang Ramayang telah berhasil mengalahkan para raksasa, memenangkan sayembara, dan mengalah Rama Prasu.
Pada suatu hari diadakan sidang dalam istana Ayodhya. Pada siding tersebut Dasarata menyampaikan keinginannya untuk meresmikan Rama sebagai putra mahkota.(sebagai Yuwa Raja). Semua hadirin menyambut gembira keinginan sang raja, lalu dirundingkanlah kapan upacara tersebut akan dilaksanakan.Rshi Wasista sebagai puruhita kerajaan menyampaikan bahwa upacara dilaksanakan pada bulan citra, yaitu tinggal sebulan lagi. Untuk itu, perisapan-persiapan supaya dilakukan mulai sekarang. Pada waktu persiapan upacar dilaksanakan, raja Dasarata mendapat berita bahwa mertuanya, yaitu raja Keykaya, ayah dewi Keykeyi sedang sakit. Oleh karena raja Dasarata masih sibuk dengan persiapan-persiapan upacara, dia tidak bisa menengok. Dia lalu mengutus bharata untuk menengok kakeknya. Bharatha segera berangkat ditemani oleh Satrugna.
Berita tengtang pengangkatan Rama di sambut oleh semua orang kecuali salah satu dayang dewi Keykeyi, yaitu Mantara. Dia lebih menginginkan anak asuhnya yaitu Bharata yang menjadi Yuwa Raja. Kemudian Mantara mengusulkan Itu kepada Dewi keykeyi, tetapi Dewi Keykeyi tidak menyetujuinya. Mantara pun mulai menghasutnya dan berhasil. Dewi Keykayi masih Ragu dengan hal tersebut, namun Mantara mengingatkan Dewi Keykayi tentang janji Dasarata yang akan memenuhi dua permohonan karena telah menyelamatkannya.

Dewi Keykayi kemudian mengajak Mantara menghadap Raja, dan menagih janji tersebut. Pertama, Dewi Keykayi meminta agar penobatan tersebut dibatalkan, dan digantikan dengan Bharata. Dan yang kedua, Dewi Keykayi meminta agar Rama diasingkan ke hutan Dandaka selama 14 tahun.
Raja Dasarata sangat terkejut dengan hal itu, tapi mau tak mau permintaan tersebut harus dipenuhinya. Kemudian, dipanggilah Rama untuk di beri tahu tentang janji tersebut. Akhirnya rama memenuhi permintaan Dewi Keykayi, karena tidak ingin membuat ayahnya mengingkari janjinya. Dan Rama pun langsung pamit untuk melaksanakannya.
Sebelum Rama pergi, di menghadap ibunya untuk menjelaskan ap yang terjadi, kemudian Rama berpamitan  kepada ibu sumitra, kepada shita, dan kepada laksamana. Tapi shita dan laksamana menyatakan akan mengikuti Rama ke hutan dengan demikian berangkatlah mereka bertiga ke hutan Dandaka.
Berita bahwa Rama akan hidup di hutan selama 14 tahun menyebar dengan cepat ke seluruh kota Ayodhya. Rakyat merasa kecewa dengan keputusan Raja yang tidak bijaksana. Mereka pun turut mengikuti Rama untuk hidup bersamanya, dari pada hidup dengan raja yang tidak bijaksana. Tetapi rama menasehati rakyat untuk mengantarkan sangrama sampai di depan gerbang saja, tentu saja rakyat pun tidak mau. Menjelang sore, rama berkunjung ke sungai Tamasa, dan memutuskan untuk bermalam disana. Saat semua penduduk tertidur nyenyak, Rama, Shita dan Laksamana pergi dengan hati-hati meninggalkan Kota. Keesokan harinya, para penduduk menemukan Rama sudah meninggalkan Kota tanpa tahu kemana dank e arah mana mereka pergi. Kemudian para penduduk pun kembali ke rumah masing-masing dengan rasa sedih.
Rama, Shita dan Laksamana pergi menyeberangi sungai dan pergi kearah selatan. Mereka menyeberangi sungai Whedasruti, sungai Gomati dan sungai Syandika hingga sampai di perbatasan negri kosala. Menjelang sore mereka sampai di tepi sungai Gangga dan menginap disana. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan dan menyeberangi sungai Gangga, ketika sore harinya, mereka sampai ditengah hutan di bawah sebuah pohon Nayagrosta besar, dan mermalam disana. Keesokan harinya mereka menuju wilayah keramat Sanggama. Dimana sunggai Yamuna dan sungai Gangga bertemu. Saat matahari terbenam, mereka sampai di pasraman Rshi Baradwaja, dan menginap disana. Keesokan harinya, mereka berpamitan dengan Rshi Baradwaja. Rshi Baradwaja menyarankan agar Rama tinggal sementara di pegunungan Cikutra sebelum menuju hutan Dandaka. Beliau juga memberikan petunjuk jalan mna yg hrus di tempuh. Sesuai saran tersebut, Rama pun menyebrangi sungai Yamuna.
Sedangkan di Ayodhya, Dasarata di penuhi rasa penyesalan, kesedihan, dan keputus asaan. Beliau berulang kali minta maaf dan menyatakan perasaannya kepada Dewi Kosalya dan Dewi Sumitra. Setelah itu beliau tertidur dengan mengigau dan menyebut nama Rama berulang-ulang kali. Keesokan harinya, Dewi Koslaya dan Dewi Sumitra mendapati suaminya sudah tak bernyawa. Dan rakyat Ayodhya yang telah berduka atas perginya sang Rama, kini juga berduka atas meninggalnya sang raja Dasarata.
Pada hari itu juga, diadakan rapat dewan istana. Diputuskan bahwa Bharata harus menjadi raja. Dikirimlah utusan untuk menjemput Bharata. Saat Bharata tiba di Ayodhya beliau disambut oleh para pegawai istana dengan wajah yang menunjukan kesedihan. Ketika Bharata bertanya ap yang terjadi, para pegawai tak ada yang sanggup memberi jawaban. Bharata menjadi tak sabar, dan segera menuju kamar ayahnya, tetapi beliau tak ada dikamar. Ia berfikir bahwa ayahnya sedang berada di kamar ibunya. Tetapi yang ada hanya ibunya. Bharata menanyakan tentang kakek dan pamannya, semuanya baik-baik saja. Kemudian dia juga bertanya tentang ayahnya. Dewi Keykayi lalu menceritakan semuanya sejak awal sampai ayahnya meninggal.
Mendenga cerita tersebut, Bharata pun menjadi marah dan kecewa. Ia menyatakan tidak mau menjadi raja, dan akan mencari Rama, menjemputnya pulang dan menobatkannya menjadi raja. Bharata pun menemui para mentri dan para pembesar istana yang telah menunggu kehadirannya. Tanpa basa-basi dia langsung tegaskan bahwa dia tak bersedia menjadi raja dan akan mencari Rama. Tapi penasehat kerajaan menyarankan agar pencarian sang Rama di tunda dulu, sampai selesainya upacara sarada untuk raja wang baru wafat.
Begitu upacara tersebut selesai, Bharata langsung berangkat diiringi oleh satrugna, para mentri, sepasukan prajurit, dan sejumlah pengiring. Tak ketinggalan pula ketiga istri Dasarata ikut dalam rombingan tersebut. Di bawah pimpinan Rshi Wasista rombongan langsung menuju kepertapaan Rshi Baradwaja. dengan harapan Rshi Baradwaja bisa petunjuk dimana kiranya Rama berada sekarang. Sekitar 2 mil, Bharata menghentikan rombongannya dan menemui Rshi Baradwaja dengan hanya ditemani oleh Rshi Wasista.
Rshi Baradwaja menerima kedatangan mereka dengan baik dan member petunjuk dimana Rama berada sekarang. Selanjutnya beliau menyarankan agar membawa rombongannya dibawa keistana. Ketika Bharata memanggil rombongannya, Rshi Baradwaja melakukan puja permohonan kepada Dewata, agar berkenan memberika persediaan makanan dan minuman kepada rombongan Bharata yang akan menjadi tamunya. Karena tapa beliau sudah cukup sempurna, maka permohonan sang Rshi pun dipenuhi oleh Hyang Bhatara. Dengan demikian, saat para rombongan dating, mereka merasa puas dan bahagia.
Keesokan harinya, para rombongan berpamitan kepada sang Rshi. Mereka menuju arah barat daya menurut petunjuk sang Rshi. Hingga sampai disungai Mandrakini. Dengan pemandangan yang sangat menawan hati. Laksamana yang melihat kedatang Bharaa mengira bahwa Bharata datang untuk melenyapkan Rama, agar kedudukannya sebagai raja tak terusik. Maka ia pun menyampaikannya kepada rama. Tetapi Rama berfikiran lain, ia berfikir bahwa Bharata dating untuk menengoknya, didorong oleh rasarindunya kepada saudara. Rama pun menasehati Laksaman agar jangan berfikir negative terhadap saudara sendiri.
Bharata dan Satrugna telah berada di hadapan Rama, lalu bersujud dan member hormat. Rama menerima hormat mereka, lalu memeluknya secara bergantian. Demikian juga Laksamana saling berpelukan dengan saudaranya. Rama lalu menanyakan tentang keadaan Ayodhya, terutama tentang keadaan ayahnya. Dengan bercucuran air mata Bharata menceritakan bahwa ayahnya telah mendahului pergi kea lam para leluhur. Mendengar cerita tersebut, Rama menjadi shock hingga tak sadarkan diri. Setelah Rama sadar dan tenang kembali, bharata meminta Rama agar pulang ke Ayodhya dan menjadi raja. Tapi dengan tegas Rama menolaknya, karena hal tersebut akan mengingkari jajni orang tua, dan itu bertentangan dengan dharma. Dan sesuai dengan jaji itu, bahwa Bharatalah yang harus menduduki tahta kerajaan. Bharata juga bersikeras, tidak mau jadi raja. Ia mengusulkan agar Rama yang menjadi raja, dan dia sendiri yang menggantikan Rama untuk tinggal di hutan.
Perdebatan antara kedua saudara it uterus berlanjut. Masing-masing tetap kokoh dengan pendiriannya. Akhirnya Rshi Wasista memberikan jalan tengah. Sepatu yang dipersiapkan dalam rangka rencana penobatan Rama, supaya dipakai dulu oleh Rama, sebagai simbul penobatan. Sepatu tersebut supaya diletakan di singgasana sebagai simbul Rama yang menjadi raja. Pemerintahan selama 14 tahun dilaksanakan atas nama rama.
Jalan tengah yang ditawari oleh Rshi Wasista disepakati bersama. Setelah sepatu itu dikenakan oleh Rama, sepatu tersebut diberikan kapada Bharata. Bharata dan seluruh rombongan lalu pamit untuk kembali ke Ayodhya.