Filosofi Buah Manggis
“Budayakan budaya jujur dalam bangsa Dan jujurkan budaya bangsa”
Slogan itu sudah selayaknya didengungkan dalam pikiran setiap orang. Dengan begitu setidaknya televisi tak lagi menyiarkan berita-berita monoton seperti pencurian, penjambretan, pencopetan, dan yang paling mencuat, sebut saja korupsi.
Bagaimana tidak ? korupsi jangka panjang yang dilakukan oleh banyak pejabat tinggi negara telah menganugrahkan sebuah prestasi memalukan bagi Bumi Pertiwi.
Korupsi besar-besaran yang merugikan Negara membawa nama Indonesia menduduki peringkat kedua, Negara dengan aksi korupsi terbanyak setelah India.
Wah wah .. sebegitu burukkah pendidikan karakter di Indonesia ? sebegitu lemahkah proteksi terhadap budaya di Indonesia ? jawabannya mungkin relative berbeda dalam pandangan setiap orang. Namun, jika dilihat secara global, berdasarkan fakta yang tampak jelas dalam guratan wajah bangsa Indonesia, jawabannya adalah ‘buruk’. Naas bukan ? bagaimana Indonesia yang dulunya berdiri tegap karena kuatnya akar budaya dalam masyarakat, kini jatuh kehormatannya hanya karena ketidakjujuran beberapa oknum.
Untuk mencegah semakin terperosoknya martabat Indonesia dimata dunia, pemahaman terhadap karakter bangsa serta pendidikan budaya tampaknya memang merupakan akses utama menuju bangsa Indonesia yang kokoh.
Berdasarkan hasil pengamatan, Loyalitas terhadap Negara kian masa kian berkurang. Dan sekedar mengingatkan , Kesetiaan adalah buah manis dari kejujuran. Mengapa ? dengan menjadikan diri jujur, baik itu dalam pikiran, perkataan, sekaligus perbuatan, maka tanpa sadar orang tersebut telah menjadikan dirinya orang yang setia. Orang yang memiliki loyalitas tinggi terhadap apapun yang dikerjakan atau dianutnya.
Untuk diketahui bahwa ke-delapan belas nilai karakter bangsa Indonesia telah disusun sedemikian rupa bukan hanya untuk di lihat, tapi untuk diindahkan. Jika saja setiap orang mengindahkan apa yang terkandung dalam setiap butir karakter bangsa, maka tak ubahnya dengan membantu mengangkat wajah bangsa Indonesia dalam menghadapi derasnya gempuran budaya luar yang membawa ancaman berupa disintegrasi bagi bangsa Indonesia. Dapat dikatakan demikian karena ke-delapan belas karakter bangsa tersebut saling terkoordinasi dan memiliki hubungan yang kuat. Lihat saja bagaimana keyakinan terhadap Tuhan yang maha esa, akan menjadikan seseorang menjadi pribadi yang jujur, dan dari pribadi yang jujur, seperti yang ditulis sebelumnya, dia akan memiliki kesetiaan dan loyalitas yang tinggi, dan begitu pula yang lainnya.
Semua karakter bangsa hendaknya dijunjung tinggi adanya dan diterapkan dalam hal sekecil apapun yang dilakukan seseorang. Melihat banyaknya berita-berita tak sedap yang bersumber dari satu titik, yakni korupsi, sepertinya menunjukkan betapa tidak berjalannya penanaman karakter serta budaya dalam diri masyarakat Indonesia.
Terkenal sebagai bangsa dengan jumlah koruptor yang bisa dibilang banyak memang memalukan, namun belum terlambat untuk memperbaikinya. Yang perlu dilakukan hanya mentransformasi kepribadian yang mungkin sebelumnya belum berkarakter, menjadi pribadi yang terbina karakternya. Dan kembali lagi pada akses utama sebelumnya, menerapkan karakter serta budaya bangsa dimulai dari dalam diri adalah caranya.
Metode tersebut mungkin bagi sebagian orang adalah suatu cara transformasi kepribadian yang terbilang primitif atau tidak praktis. Diduga alasannya adalah karena dibutuhkannya waktu yang cukup lama dalam mengubah kepribadian. Dugaan tersebut tidaklah salah, namun tidak juga sepenuhnya benar. Dalam mengubah sesuatu yang sifatnya bawaan sejak lahir, bukanlah hal mudah. Diperlukan tekad dan iman yang kuat dalam menjalaninya.
Sebelum menginjakkan kaki dalam perjalanan mengubah diri, tentu baik sekali jika tahu apa sebenarnya jujur itu sendiri bukan ?
Jujur telah dimasyarakatkan sebagai suatu kondisi dimana tidak terjadi kebohongan. Dengan begitu, untuk memulai mentransformasi kepribadian menjadi pribadi yang jujur, maka seseorang dapat memulainya dengan mempersedikit volume kebohongan yang dilakukannya. Adakah salah satu dari warga bangsa Indonesia yang sadar, bahwa setiap melakukan kebohongan, maka sadar atau tanpa sadar orang tersebut juga telah melakukan penipuan terhadap orang yang menjadi subjek kebohongannya ? Bahkan dalam kondisi yang lebih serius lagi, sebuah kebohongan bisa mengalir menjadi fitnah bagi orang lain yang tidak bersalah.
Dalam upaya untuk memperdalam pengetahuan akan salah satu karakter bangsa yakni jujur, berikut disediakan sebuah ilustrasi berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pendidikan budaya jujur dalam negeri.
Tersebutlah sebuah keluarga yang dikaruniai dua orang anak. Anak sulungnya mungkin cakap dalam memimpin, namun tampaknya jarang bersosialisasi dengan orang lain. Berkebalikan dengan si bungsu yang berkemampuan standar namun banyak kawannya. Si sulung yang begitu pendiam pernah suatu saat mengambil uang melebihi yang ia perlukan. Dan hal ini tak terungkap karena berkaitan dengan sifat si sulung yang pendiam. Jadi tak ada yang berfikir bahwa anak polos seperti dia bisa melakukan hal seperti itu. Dan karena tak pernah ketahuan, si sulung tertarik untuk mencobanya kembali. Dan apa yang terjadi ? tak ada yang menyadarinya.
Hingga suatu saat, dimana si sulung dan si bungsu sudah beranjak dewasa dan mereka melanjutkan karir ayah mereka sebagai pemimpin. Si sulung yang memang berkemampuan dalam memimpin, tanpa ragu menyalonkan diri menjadi pemimpin desanya. Begitu pula si bungsu. Dan pada akhir pemilihan, karena kecakapan dari si sulung yang memang tak diragukan lagi, maka resmilah dia menjadi kepala desa, dan si bungsu mendampinginya sebagai wakil.
Si sulung yang jarang bersosialisasi ditambah kebiasaan buruknya yang tidak jujur semasa kecil, rupanya terbawa hingga dewasa. Dan tibalah suatu hari dimana si sulung dipergoki oleh si bungsu sedang memalsukan anggaran dana desanya untuk kepentingan pribadi. Si sulung yang terkejut segera mengambil tindakan dan mencari cara bagaimana untuk bisa menutup mulut adiknya. Si bungsu yang bersahabat dan tidak suka mencari musuh, berjanji akan menutup mulut dengan syarat kakaknya tidak akan mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya. Dan dengan cepat ditanggapi ‘iya’ oleh kakaknya.
Namun lain di mulut lain dihati, si sulung tetap melakukan aksi tidak jujurnya tersebut. Dan seperti kata pepatah, ‘bagaimanapun menutup bangkai, baunya pasti tercium juga’. Mungkin si sulung bisa membungkam adiknya, namun karena tidak mengindahkan syarat adiknya untuk mentransformasi kepribadian menjadi orang yang jujur, suatu saat si sulung ketahuan telah mengkorupsikan dana desanya, kemudian secara paksa diturunkan dari jabatan dan digantikan oleh adiknya, si bungsu.
Nah, dari ilustrasi tersebut dapatlah terlihat bagaimana kebohongan itu tidak selamanya dapat ditutupi. Dan suatu waktu ketika kebohongan yang ditimbun dalam kurun waktu yang lama yang pada akhirnya terkuak, tak hanya akan menjatuhkan harga diri pelaku kebohongan saja. Suatu kebohongan yang terungkap pada umumnya juga akan menyeret nama-nama orang terdekat pelaku menjadi tercemar.
Ilustrasi kecil tersebut sama seperti bangsa Indonesia saat ini. Bayangkan saja, sekian hektar luasnya tanah Negeri. Yang dulunya dikenal agung, megah akan budayanya. Terkenal dengan keasrian dan kelestarian sistem sosialnya, kini dicap sebagai gudang para koruptor hanya karena tindakan tidak terpuji beberapa orang tak jujur.
Tindakan demo dan aksi protes di berbagai daerah yang dilakukan guna memerangi korupsi sepertinya tindakan berani yang patut diacungi jempol. Bagaimana tidak ? jika para koruptor tidak takut dengan hukum nyata yang berlaku di Negerinya, maka jalan terakhir adalah membantu para tersangka korupsi tersebut mentransformasikan dirinya menjadi orang yang jujur. Maka dengan kesadarannya sendiri, dia akan takut dan merasa malu jika bersikap tidak jujur.
Melalui ilustrasi juga dapat dilihat, bagaimana suatu saat kejujuran akan menjamin stabilnya hidup seseorang. Berbeda halnya dengan orang yang menyimpan kebohongan dalam dirinya. Tak diragukan lagi, orang yang seperti itu pasti menyimpan kegelisahan semasa menjalani hidupnya.
Pembentukan karakter seseorang sudah dimulai sejak kecil, dimana pembentukan karakter tersebut mengalami perkembangan paling pesat semasa remaja. Hal ini dikarenakan masa remaja adalah masa-masa dimana seseorang sedang giat-giatnya mencari jati diri. Hal ini pula yang mendorong beberapa lembaga menekankan dan memberikan banyak penyuluhan kepada generasi muda guna memperkuat pendidikan budaya bangsa serta memupuk karakter bangsa dalam diri penerus negara agar kelak mampu menjadi tameng yang kuat dalam memfilterisasi budaya luar dalam upaya untuk mencegah disintegrasi bangsa dan mengembangkan loyalitas dalam diri para remaja. Disinilah ditunjukkan betapa peran sosialisasi amat epnting dalam mengarahkan kehidupan.
Kembali pada slogan awal, “Budayakan budaya jujur dalam bangsa Dan jujurkan budaya bangsa”, sudah tergambar jelas bagaimana jika seseorang telah mempu membudayakan kejujuran, dimulai dari hal kecil hingga hal-hal besar yang orang tersebut lakukan, maka orang itu telah turut andil dalam membebaskan budaya bangsa dari segala macam bentuk kebohongan dan kepalsuan. Dimana perilaku jujur yang dilakukan pada akhirnya akan dapat menjernihkan Indonesia dari prestasi tidak membanggakan yang kian melanda.
Seperti halnya semut kecil yang mengangkat sendiri remah makanan, tanpa bantuan dari rekannya. Suatu hal mustahil sepertinya bagi semut tersebut membawa remah besar kesarangnya. Begitupun sebuah Negara, jika hanya satu orang yang jujur dalam suatu bangsa, tidak akan memberikan efek besar bagi Negara tersebut. Namun jika kejujuran itu berakar kokoh dalam diri setiap penghuni Indonesia, niscaya, bangsa Indonesia tercinta akan kembali pada masa kejayaannya.
Untuk itu, mari bersama transformasi diri menjadi lebih baik, dimulai dengan membudayakan budaya jujur dalam diri agar nantinya dapat menjujurkan budaya bangsa ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar